Penulis : Savitri , Universitas Pamulang

Keputusan yang baik tidak hanya bergantung pada data dan logika, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan yang sering kali tak dapat dikuantifikasi. Di era revolusi industri 4.0, sistem penunjang keputusan berbasis AI telah menjadi pilar penting dalam membantu manusia memproses informasi, memprediksi hasil, dan memilih alternatif terbaik di berbagai bidang — mulai dari layanan kesehatan, transportasi, hingga perencanaan kota cerdas. Dengan kemampuan pemrosesan data skala besar dan analisis kompleks, AI telah menjadi katalisator efisiensi dan akurasi.

Namun, tantangan besar muncul saat sistem ini masuk ke ruang-ruang keputusan yang menyangkut etika, keadilan, dan moralitas. AI tidak memiliki empati. Ia tidak mampu menilai konsekuensi sosial jangka panjang atau memahami penderitaan manusia. Sebagai contoh, ketika DSS digunakan dalam rekrutmen kerja atau pemberian pinjaman, model yang dilatih dari data historis bisa secara tidak sadar melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Inilah pentingnya memastikan bahwa sistem yang kita bangun tidak hanya cerdas, tetapi juga adil.

Keseimbangan antara presisi algoritma dan kebijaksanaan manusia harus dijaga. Sistem penunjang keputusan sebaiknya tidak menggantikan, tetapi mendampingi proses berpikir manusia. AI dapat mengusulkan, tetapi manusia tetap harus menentukan. Oleh karena itu, perlu dirancang mekanisme umpan balik, audit algoritma, serta keterlibatan multidisiplin—dari teknolog, etikus, hingga pemangku kebijakan—dalam pengembangan sistem-sistem ini.

Di masa depan, kolaborasi antara manusia dan AI dalam pengambilan keputusan akan menjadi norma. Namun, agar norma ini tidak menyesatkan, kita harus selalu menempatkan manusia sebagai pusat dari proses. Teknologi boleh berkembang secepat mungkin, tapi kebijaksanaan tetap harus memimpin arah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *