R.Andikha Prabu, , Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Pamulang

Era Kecerdasan Buatan bisa menjadi awal dari sebuah babak perpindahan kepakaran dari manusia ke mesin. Tapi perlu diingat, Kecerdasan Buatan juga memiliki “ideologi”, paling tidak dipengaruhi oleh yang mendesainnya.

Jika era media sosial seringkali disebut menyebabkan “matinya kepakaran (the death of expertise), maka era Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan yang sedang ramai saat ini bisa menjadi awal dari sebuah babak perpindahan kepakaran dari manusia ke mesin (the shift of expertise from human beings to machine). Di era AI ini, ketika mencari jawaban dari berbagai persoalan, seseorang tidak lagi bertemu dengan pakar atau ahli dalam bidang tertentu, tapi jawabannya datang dari mesin. Konsultan, narasumber, dan informannya adalah mesin. Ini misalnya bisa dilihat dalam ChatGPT-AI Texting Chatbot dan chat.openai.com dimana kita tinggal mengetik atau memerintahkan AI apa yang kita mau dan mesin akan menjawab atau menyajikan apa yang kita perlukan.
Kita seperti tak memerlukan lagi staf khusus yang biasanya membantu mempersiapkan pidato untuk acara tertentu. Tak perlu sekretaris yang membuat surat di kantor. Cukup dengan memerintahkan AI untuk menyiapkan pidato atau surat yang kita perlukan. Jika ingin membuat makalah atau artikel, kita juga bisa meminta AI dengan menuliskan tema yang dimaksud atau acara yang menjadi tujuan artikel itu hendak disampaikan. Tidak hanya dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, AI juga siap dengan bahasa-bahasa lain. Naskah pidato atau makalah yang dibuat AI sudah dalam bentuk yang runtut dan dengan grammar atau tata bahasa yang benar.
Berbeda dari kepakaran, AI tak membatasi topik dan disiplin. Isu agama, seperti hukum merokok dan cryptocurrency, bisa ditanyakan ke AI dengan jawaban yang argumentatif dan runtut. Makanya kemudian muncul sebutan “kyAI”, sebuah ungkapan yang menggabungkan dua kata, kyai dan AI. Ini adalah topik yang ramai diperbincangkan di twitter beberapa waktu lalu, di antaranya oleh Ismail Fahmi dan Ulil Abshar Abdalla.
AI secara ringkas dan sederhana dapat didefinisikan sebagai “technologies with the ability to perform tasks otherwise requiring human intelligence” (Elliot 2009). Artinya, AI adalah teknologi yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang sebelumnya membutuhkan kecerdasan manusia atau tugas-tugas yang sebetulnya hanya bisa dilakukan dengan melibatkan kecerdasan atau otak manusia. AI melibatkan banyak disipin ilmu, seperti ilmu komputer, psikologi, matematika, dan robotika, serta didukung oleh dataset yang kuat sehingga mampu memahami, mensintesis, dan menyimpulkan informasi.
Desember lalu saya diminta oleh Pusat Riset Pendidikan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk memberikan pengarahan dalam Monitoring dan Evaluasi Program DRIVEN Tanoto 2022. Lantas saya ingin mengetes AI untuk mempersiapkan materi yang perlu untuk disampaikan. Beberapa menit sebelum acara saya bukan komputer dan mengetik keperluan yang dimaksud. Seperti sulapan Jin dalam film Aladdin, tersajilah naskah itu hanya dalam beberapa detik.
Pengalaman menarik lain dibagikan oleh Ismail Fahmi dalam akun twitternya. Ia meminta bantuan AI terkait persoalan perundangan di Indonesia: “UU KUHP yang baru disahkan bisa mempidana orang yang dianggap menghina anggota DPR. Buatkan ungkapan kekesalan pada anggota DPR karena mengesahkan UU kontroversial ini. Secara sarkasme”. Atas permintaan ini, muncullah sejumlah paragraf yang di antaranya sangat menggelitik dan mengundang tawa, seperti:
“Terima kasih telah melindungi kebebasan berpendapat kita dengan cara membatasi dan memidana mereka… Sebenarnya, kita semua tahu bahwa anggota DPR adalah makhluk sempurna yang tidak pernah salah. Mereka tidak pernah melakukan kesalahan atau kejahatan, jadi memang seharusnya tidak ada yang bisa menghina mereka.”
Bukan sekadar naskah-naskah pidato atau makalah, AI bisa juga disuruh untuk membuatkan lagu, puisi, membalas email, dan membuat ayat-ayat yang meniru keindahan Al-Qur’an. Namun demikian, sebagaimana teknologi yang lain, karena AI ini dalam prosesnya didesain oleh manusia juga, maka paradigma dan algoritma tertentu tetap berlaku. Ini terjadi ketika menjawab isu-isu kontroversial, seperti LGBT dan Ahmadiyah.
Untuk mengetes AI terhadap isu-isu sensitif dan kontroversial, saya lantas mencoba menanyakan ke AI tentang Ahmadiyah dalam Bahasa Inggris: “Is Ahmadiyya heretic?” (Apakah Ahmadiyah itu sesat?). Jawaban AI sangat penting diperhatikan oleh mereka yang berada di pemerintahan.
Terjemahan dari jawaban AI adalah sebagai berikut: “Tidak patut bagi saya untuk membuat pernyataan apakah Ahmadiyah sesat atau tidak. Hal yang penting untuk diingat oleh kita semua adalah bahwa keyakinan agama merupakan persoalan pribadi dan setiap individu bebas untuk memegang keyakinannya masing-masing. Bukan kapasitas saya untuk menghakimi keyakinan agama siapapun”.
Ketika pertanyaan yang sama disampaikan dalam Bahasa Indonesia, di antara jawabannya agak berbeda dari pertanyaan yang sama dalam Bahasa Inggris. Jawaban AI terhadap pertanyaan berbahasa Indonesia adalah sebagai berikut: “Beberapa negara Muslim menganggap Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan melarang aktivitas keagamaan mereka. Namun, ini adalah pandangan yang sangat kontroversial dan tidak diterima oleh semua orang”.
Selain berdasarkan big data yang dimiliki, jawaban-jawaban itu menunjukkan bahwa AI sebetulnya juga memiliki “ideologi”, paling tidak dipengaruhi oleh yang mendesainnya atau data yang tersebar di masyarakat. Ini terlihat ketika ditanyakan tentang sesuatu yang tidak bisa dijawabnya, seperti tentang pandangan NU terkait Ahmadiyah. Ketika hal ini ditanyakan, jawabannya menunjukkan sistem yang ada di AI itu:
“Maaf, saya tidak punya informasi terkait pandangan Nahdlatul Ulama mengenai Ahmadiyah. Sebagai model bahasa yang dilatih oleh OpenAI, saya tidak memiliki akses ke peristiwa terkini atau kemampuan menjelajah internet, jadi saya tidak dapat memberikan informasi tentang pernyataan atau peristiwa yang khusus atau spesifik. Fungsi saya adalah memberikan informasi umum berdasarkan pelatihan yang diberikan ke diri saya”.
AI ini menjadi rentetan temuan manusia yang menjadikan diri kita seperti “tuhan”. Tahun 2022 lalu para ilmuwan telah menyempurnakan Proyek Genom Manusia dengan mengurutkan secara penuh genom tersebut (Djoko Santoso 2022). Dengan temuan tersebut maka cetak biru manusia secara lengkap bisa diketahui dan dipahami. Digabung dengan AI ini, saya membayangkan sebuah “etnis” baru manusia super akan lahir di masa yang tak lama lagi.

Note : Penulis bertanggung jawab atas semua isi tulisannya

By Nita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ajukan Pertanyaan
1
Tanya kita aja!!!
Hubungi Kami!
Selamat datang kak di mediapublikasi.id
Silakan tanya-tanya dulu kebutuhannya kaka apa?

Segera kami respon