Penulis : Perani Rosyani, Universitas Pamulang

Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), sistem penunjang keputusan (Decision Support System/DSS) mengalami transformasi mendasar. Jika sebelumnya sistem ini hanya mengandalkan model logika tradisional dan data statistik, kini kemampuannya diperkuat dengan pembelajaran mesin, analisis prediktif, dan integrasi big data. Kemampuan ini memungkinkan DSS generasi baru untuk tidak hanya memproses informasi lebih cepat, tetapi juga mengenali pola dan membuat rekomendasi yang sebelumnya tak terbayangkan.

Namun, semakin canggih teknologi, semakin besar pula tanggung jawab yang mengikutinya. Ketika algoritma menjadi pusat dari proses pengambilan keputusan, muncul risiko pengabaian terhadap dimensi kemanusiaan. Sistem yang terlalu bergantung pada data historis dapat memperkuat bias lama, mengabaikan konteks sosial, atau membuat keputusan yang tidak etis jika tidak diawasi dengan tepat. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa kecerdasan buatan tidak netral—ia merefleksikan data yang diberi dan nilai-nilai yang dibenamkan oleh penciptanya.

Dalam dunia kesehatan, misalnya, DSS berbasis AI telah digunakan untuk membantu diagnosa penyakit dan rekomendasi pengobatan. Meskipun sangat membantu, tetap dibutuhkan pertimbangan manusia dalam memahami kondisi emosional pasien atau implikasi jangka panjang dari suatu keputusan medis. Begitu pula dalam sektor keuangan, DSS digunakan untuk memberikan rekomendasi investasi, namun tetap harus diawasi agar tidak mengambil keputusan yang mengorbankan keberlanjutan atau keadilan sosial demi keuntungan sesaat.

Kita kini berada di persimpangan penting: apakah teknologi akan menjadi alat bantu atau justru pengganti dalam pengambilan keputusan? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita membingkai dan membatasi peran AI. Ke depan, pengembangan sistem penunjang keputusan harus didasari pada prinsip transparansi, keadilan, dan akuntabilitas. Dengan demikian, manusia tetap memegang kendali, sementara AI menjadi mitra yang memperluas kemampuan berpikir dan bertindak kita—bukan menggantikannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *