Ada masa ketika rumah adalah ruang paling intim, tempat keluarga berkumpul, dan percakapan menjadi penanda kedekatan. Kini, ruang itu semakin dipenuhi oleh suara notifikasi, cahaya layar, dan interaksi maya yang seakan lebih penting dari orang yang duduk tepat di depan mata. Bagi saya, inilah salah satu potret paling nyata bagaimana teknologi informasi mengubah wajah kehidupan sosial kita.
Tidak ada yang salah dengan perkembangan teknologi. Saya pun merasakan manfaatnya—pekerjaan jadi lebih cepat, informasi mudah diakses, dan komunikasi lintas benua hanya hitungan detik. Namun, yang membuat saya gusar adalah bagaimana kita perlahan-lahan kehilangan kendali, seolah menjadi tamu di rumah sendiri. Saat makan malam, yang lebih sering kita tatap bukan wajah anggota keluarga, melainkan layar ponsel. Saat berkumpul bersama teman, percakapan sering berhenti hanya karena seseorang sibuk memotret makanan lalu mengunggahnya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita sedang menguasai teknologi, atau teknologi yang mulai menguasai kita? Ada rasa cemas bahwa dalam beberapa tahun mendatang, keakraban fisik bisa benar-benar tergantikan oleh interaksi digital. Bayangkan, sebuah keluarga bisa hidup dalam satu atap tetapi jarang saling bicara karena masing-masing larut dalam dunia maya. Apakah itu sekadar kekhawatiran berlebihan, atau justru tanda-tanda awal dari realitas baru?
Kita memang tidak bisa menolak perubahan. Dunia maya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Tetapi saya percaya, yang perlu kita jaga adalah keseimbangan. Jangan sampai dunia nyata yang seharusnya menjadi pusat kehidupan, malah terpinggirkan oleh dunia maya yang sifatnya semu. Saya pribadi merasa, membatasi diri untuk sesekali menutup layar dan benar-benar hadir dalam percakapan nyata adalah sebuah perlawanan kecil yang sangat berarti.
Teknologi informasi akan terus berkembang. Akan ada platform baru, aplikasi baru, bahkan cara baru berinteraksi yang mungkin sekarang sulit kita bayangkan. Namun, yang perlu kita renungkan bersama adalah: apakah kita siap menjaga ruang kemanusiaan kita? Jangan sampai di tengah derasnya arus digitalisasi, kita justru kehilangan jati diri sebagai makhluk sosial yang sejatinya membutuhkan tatapan mata, senyuman, dan kehangatan fisik.
Menurut saya, ini bukan sekadar pilihan gaya hidup. Ini adalah soal bagaimana kita tetap menjadi tuan atas rumah kita sendiri, bukan menyerahkannya kepada dunia maya yang terus mengetuk tanpa henti.