Muhammad Ziidan, Mahasiswa Universitas Pamulang
Kehadiran kecerdasan buatan (AI) di ruang kelas merupakan suatu kemajuan yang tak terelakkan.
Namun, untuk memanfaatkannya secara optimal, perlu pertimbangan yang matang atas dampaknya,
baik dan buruk, terutama dalam konteks bimbingan belajar, penilaian, keamanan data, dan fungsi
lainnya.
Sangat penting bagi institusi pendidikan untuk memastikan bahwa pengelolaan data siswa dilakukan
dengan tanggung jawab yang tinggi guna menghindari pelanggaran privasi dan potensi kebocoran
informasi.
Selain itu, pendidik dan administrator harus memastikan bahwa alat berbasis AI tidak menghasilkan bias
dalam pengalaman pendidikan. Penting untuk diingat bahwa keberhasilan sistem AI bergantung pada
kualitas data yang digunakan untuk melatihnya. Oleh karena itu, jika data yang digunakan mengandung
bias, sistem AI dapat memperpetuasi bias tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa kelompok pendidikan telah mengembangkan pedoman
untuk membantu pengembang dalam menghindari bias dan diskriminasi dalam perangkat lunak AI
untuk pendidikan. Pedoman ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengatasi bias dalam
pengembangan, serta meningkatkan kesadaran akan risiko yang ditimbulkan oleh alat AI.
Pendekatan terukur akan sangat berguna dalam meraih potensi penuh AI dalam pendidikan. Meskipun
AI menawarkan janji revolusioner dalam meningkatkan pengalaman belajar, kekhawatiran mengenai
implikasi etis AI dalam pendidikan harus diperhatikan, terutama terkait dengan privasi dan akuntabilitas.
Oleh karena itu, pendekatan yang hati-hati, berkomitmen pada penelitian dan pengembangan yang
ekstensif, serta uji tuntas diperlukan untuk memastikan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam
pemanfaatan AI di ruang kelas.
Aaron Rafferty, CEO StandardDAO dan salah satu pendiri BattlePACs, berkomitmen untuk
memanfaatkan teknologi seperti blockchain, AI, cloud, dan media sosial untuk meningkatkan
keterlibatan dan produktivitas siswa.